Oleh Hairun Fahrudin - Mae Sai, sebuah distrik di provinsi Chiang Rai, terletak di bagian paling utara Thailand. Di kota ini terdapat pos lintas batas Thailand-Myanmar yang setiap hari – menurut artikel Bangkok Post yang saya baca – dilintasi ribuan orang.
Pada November 2010 saya mengunjungi Mae Sae dari ibu kota provinsi Chiang Rai. Saya menumpang bus tanpa AC, namun cukup nyaman dan bersih, seharga 36 baht sekali jalan (Rp 10 ribu). Waktu tempuh kira-kira 90 menit. Makin dekat ke area perbatasan, makin sering terlihat pos-pos polisi di pinggir jalan. Bus kami harus berhenti tiga kali untuk pemeriksaan identitas penumpang.
Keadaan ekonomi Thailand yang lebih bagus telah mengundang banyak warga Myanmar untuk datang dan bekerja ilegal di Thailand. Mereka rela bekerja dengan upah amat rendah, malah ada yang terlibat bisnis pelacuran.
Beberapa orang Thailand yang saya jumpai secara bercanda mengatakan, keadaan ini akibat dosa tentara Burma di masa lalu – yang pernah menyerang dan menghancurkan dua kota di Thailand: Sukhothai dan Ayutthaya.
Kota Mae Sai hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil dengan Tachilek, yang berada di wilayah Myanmar. Pos perbatasan Thailand-Myanmar berbentuk sebuah jembatan pendek yang melintas di atas sungai kecil itu. Dari sisi Thailand, kita bisa melihat dengan jelas rumah-rumah dan orang-orang yang berada di wilayah Myanmar.
Saya melihat tak sedikit wisatawan kulit putih menyeberang ke Myanmar. Padahal kedutaan Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengeluarkan peringatan perjalanan supaya wisatawan tidak mendekati wilayah perbatasan Myanmar. Ini terkait pemilu Myanmar yang waktu itu baru saja usai. Tapi tampaknya mereka tak hirau.
Saya sendiri tidak tertarik menyeberang. Soalnya, wisatawan asing yang masuk lewat Mae Sai-Tachilek hanya diizinkan berada di kota itu saja. Petugas imigrasi Myanmar di pos perbatasan akan meminta dan menahan paspor kita di pos perbatasan.
Saya memilih berjalan-jalan di sekitar pos perbatasan saja.
Mae Sai mengemas jualan wisata mereka dengan acara belanja barang murah yang diimpor dari Cina. Produk yang paling khas adalah kerajinan batu giok dan keramik. Beberapa pedagang asongan juga menawarkan DVD bajakan asal Cina, bahkan ada juga yang menjual film porno.
Objek menarik lainnya di Mae Sai adalah sebuah wihara yang terletak di atas bukit. Ada lebih 300 anak tangga yang harus didaki untuk menuju puncak. Dari atas bukit, kota Tachilek yang berada di Myanmar terlihat lebih jelas.
Ketika pulang, saya semobil dengan orang-orang Myanmar yang baru saja menyeberang. Yang perempuan banyak yang berdandan menor dan mengenakan kaus seksi. Sementara yang laki-laki berkulit kasar dengan pakaian lusuh.
Karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris, saya tidak bisa bercakap-cakap dengan pendatang dari Myanmar ini. Tetapi dari sorot mata mereka saya yakin, jika kami bisa mengobrol, mereka punya banyak kisah untuk diceritakan.
Sumber: http://id.travel.yahoo.com/jalan-jalan/155-melongok-perbatasan-thailand-myanmar
Jembatan perbatasan Thailand-Myanmar. Foto: Hairun Fahrudin.
Pada November 2010 saya mengunjungi Mae Sae dari ibu kota provinsi Chiang Rai. Saya menumpang bus tanpa AC, namun cukup nyaman dan bersih, seharga 36 baht sekali jalan (Rp 10 ribu). Waktu tempuh kira-kira 90 menit. Makin dekat ke area perbatasan, makin sering terlihat pos-pos polisi di pinggir jalan. Bus kami harus berhenti tiga kali untuk pemeriksaan identitas penumpang.
Keadaan ekonomi Thailand yang lebih bagus telah mengundang banyak warga Myanmar untuk datang dan bekerja ilegal di Thailand. Mereka rela bekerja dengan upah amat rendah, malah ada yang terlibat bisnis pelacuran.
Beberapa orang Thailand yang saya jumpai secara bercanda mengatakan, keadaan ini akibat dosa tentara Burma di masa lalu – yang pernah menyerang dan menghancurkan dua kota di Thailand: Sukhothai dan Ayutthaya.
Kota Mae Sai hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil dengan Tachilek, yang berada di wilayah Myanmar. Pos perbatasan Thailand-Myanmar berbentuk sebuah jembatan pendek yang melintas di atas sungai kecil itu. Dari sisi Thailand, kita bisa melihat dengan jelas rumah-rumah dan orang-orang yang berada di wilayah Myanmar.
Saya melihat tak sedikit wisatawan kulit putih menyeberang ke Myanmar. Padahal kedutaan Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mengeluarkan peringatan perjalanan supaya wisatawan tidak mendekati wilayah perbatasan Myanmar. Ini terkait pemilu Myanmar yang waktu itu baru saja usai. Tapi tampaknya mereka tak hirau.
Permukiman di Tachilek. Foto: Hairun Fahrudin.
Saya sendiri tidak tertarik menyeberang. Soalnya, wisatawan asing yang masuk lewat Mae Sai-Tachilek hanya diizinkan berada di kota itu saja. Petugas imigrasi Myanmar di pos perbatasan akan meminta dan menahan paspor kita di pos perbatasan.
Saya memilih berjalan-jalan di sekitar pos perbatasan saja.
Mae Sai mengemas jualan wisata mereka dengan acara belanja barang murah yang diimpor dari Cina. Produk yang paling khas adalah kerajinan batu giok dan keramik. Beberapa pedagang asongan juga menawarkan DVD bajakan asal Cina, bahkan ada juga yang menjual film porno.
Objek menarik lainnya di Mae Sai adalah sebuah wihara yang terletak di atas bukit. Ada lebih 300 anak tangga yang harus didaki untuk menuju puncak. Dari atas bukit, kota Tachilek yang berada di Myanmar terlihat lebih jelas.
Ketika pulang, saya semobil dengan orang-orang Myanmar yang baru saja menyeberang. Yang perempuan banyak yang berdandan menor dan mengenakan kaus seksi. Sementara yang laki-laki berkulit kasar dengan pakaian lusuh.
Karena mereka tidak bisa berbahasa Inggris, saya tidak bisa bercakap-cakap dengan pendatang dari Myanmar ini. Tetapi dari sorot mata mereka saya yakin, jika kami bisa mengobrol, mereka punya banyak kisah untuk diceritakan.
Sumber: http://id.travel.yahoo.com/jalan-jalan/155-melongok-perbatasan-thailand-myanmar
________________________________________________________