Keris adalah senjata tradisional masyarakat Jawa yang di yakini mempunyai kekuatan supranatural yang mampu memberikan kegunaan atau keistimewaan kepada pemiliknya.
Bagian gandik keris ini diukir dengan bentuk kepala naga, biasanya dengan bentuk mahkota raja yang beragam, sedangkan badannya digambarkan dengan sisik yang halus mengikuti luk pada tengah bilah sampai ke ujung keris. Dengan ciri-ciri antara lain adalah kruwingan, ri pandan dan greneng, dan oleh beberapa empu berdasarkan zamannya seperti Majapahit , Mataram dan Mataram Nom, membuat keris ber-dapur nagasasra.
Pada keris dapur Nagasasra yang baik, sebagian besar bilahnya diberi kinatah emas, dan pembuatan kinatah emas semacam ini tidak disusulkan setelah wilah ini selesai, tetapi telah dirancang oleh sang empu sejak awal pembuatannya. Pada tahap penyelesaian akhir, sang empu sudah membuat bentuk kinatah, yang benar adalah "tinatah", dari kata "tatah" yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "terpahat", dengan sisipan in, menjadi tinatah, sesuai rancangannya . Bagian-bagian yang kelak akan dipasang emas diberi alur khusus untuk "tempat pemasangan kedudukan emas" dan setelah penyelesaian wilah selesai, maka dilanjutkan dengan penempelan emas oleh pande emas.
Salah satu pembuat keris dengan dapur Nagasasra terbaik, adalah karya empu Ki Nom, merupakan seorang empu yang terkenal, dan hidup pada akhir zaman kerajaan Majapahit sampai pada zaman pemerintahan Sri Sultan Agung Anyokrokusumo di Mataram, tetapi ada sebagian ahli lain yang mengatakan bahwa Ki Supo Anom pada zaman kerajaan Mataram, sebenarnya adalah cucu dari empu Supo Anom yang hidup pada zaman Majapahit, dan golongan ini menyebut Ki Nom dengan sebutan Ki Supo Anom II, dan yang hidup di zaman Majapahit disebut Ki Supo Anom.
Dapur Sabuk Inten, seperti juga dapur Nagasasra mempunyai luk tiga belas dengan ciri-ciri yang berbeda yaitu mempunyai sogokan, kembang kacang, lambe gajah dan greneng.
Nama keris Nagasasra menjadi terkenal karena menjadi topik dalam cerita silat karya S.H. Mintarja yang diceritakan bahwa Mahesa Jenar, salah satu muridnya Syeh Siti Jennar, mantan perwira tinggi kerajaan Demak pada masa kerajaan Demak Bintoro mencari kedua benda pusaka tersebut yang konon bagi siapa yang mendapatkannya akan menjadi pewaris sah tahta kerajaan Demak.
Kemudian dilakukan ritual untuk pengisian kekuatan supranatural, yaitu dengan memasukkan makhluk ghaib kedalam wesi aji itu. Biasanya setiap malam Jum'at Legi keris itu akan dibakari kemenyan di atas tungku, sebagai upaya memberi makan kepada sang penghuni keris agar memiliki kekuatan "yoni", dan setiap tahunnya, biasanya pada bulan Jawa Suro dilakukan ritual memandikan keris oleh seorang ahli khusus.
Model Keris
Keris Pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten adalah dua benda pusaka peninggalan Raja Majapahit. Nagasasra adalah nama salah satu dapur atau "bentuk" keris luk tiga belas dan ada pula yang luk-nya berjumlah sembilan dan sebelas, sehingga penyebutan nama dapur ini harus disertai dengan menyatakan jumlah luk-nya. Bagian gandik keris ini diukir dengan bentuk kepala naga, biasanya dengan bentuk mahkota raja yang beragam, sedangkan badannya digambarkan dengan sisik yang halus mengikuti luk pada tengah bilah sampai ke ujung keris. Dengan ciri-ciri antara lain adalah kruwingan, ri pandan dan greneng, dan oleh beberapa empu berdasarkan zamannya seperti Majapahit , Mataram dan Mataram Nom, membuat keris ber-dapur nagasasra.
Pada keris dapur Nagasasra yang baik, sebagian besar bilahnya diberi kinatah emas, dan pembuatan kinatah emas semacam ini tidak disusulkan setelah wilah ini selesai, tetapi telah dirancang oleh sang empu sejak awal pembuatannya. Pada tahap penyelesaian akhir, sang empu sudah membuat bentuk kinatah, yang benar adalah "tinatah", dari kata "tatah" yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "terpahat", dengan sisipan in, menjadi tinatah, sesuai rancangannya . Bagian-bagian yang kelak akan dipasang emas diberi alur khusus untuk "tempat pemasangan kedudukan emas" dan setelah penyelesaian wilah selesai, maka dilanjutkan dengan penempelan emas oleh pande emas.
Salah satu pembuat keris dengan dapur Nagasasra terbaik, adalah karya empu Ki Nom, merupakan seorang empu yang terkenal, dan hidup pada akhir zaman kerajaan Majapahit sampai pada zaman pemerintahan Sri Sultan Agung Anyokrokusumo di Mataram, tetapi ada sebagian ahli lain yang mengatakan bahwa Ki Supo Anom pada zaman kerajaan Mataram, sebenarnya adalah cucu dari empu Supo Anom yang hidup pada zaman Majapahit, dan golongan ini menyebut Ki Nom dengan sebutan Ki Supo Anom II, dan yang hidup di zaman Majapahit disebut Ki Supo Anom.
Dapur Sabuk Inten, seperti juga dapur Nagasasra mempunyai luk tiga belas dengan ciri-ciri yang berbeda yaitu mempunyai sogokan, kembang kacang, lambe gajah dan greneng.
Nama keris Nagasasra menjadi terkenal karena menjadi topik dalam cerita silat karya S.H. Mintarja yang diceritakan bahwa Mahesa Jenar, salah satu muridnya Syeh Siti Jennar, mantan perwira tinggi kerajaan Demak pada masa kerajaan Demak Bintoro mencari kedua benda pusaka tersebut yang konon bagi siapa yang mendapatkannya akan menjadi pewaris sah tahta kerajaan Demak.
Kepercayaan Masyarakat Jawa
Menurut kalangan para ahli keris (paranormal) masyarakat Jawa, keris jaman dahulu diciptakan oleh seorang empu dengan proses metafisika dan memakan waktu ritual yang berbulan-bulan, bahkan lebih. Keris terbuat dari bahan logam yang disebut "wesi aji", yaitu batu meteor dari angkasa yang didatangkan dari bertapa. Kemudian proses pembentukannya dilakukan hanya dengan memijit-mijit dengan jari-jari tangan saja, dan memang ditemukan beberapa keris kuno yang meninggalkan bekas sidik jari.Kemudian dilakukan ritual untuk pengisian kekuatan supranatural, yaitu dengan memasukkan makhluk ghaib kedalam wesi aji itu. Biasanya setiap malam Jum'at Legi keris itu akan dibakari kemenyan di atas tungku, sebagai upaya memberi makan kepada sang penghuni keris agar memiliki kekuatan "yoni", dan setiap tahunnya, biasanya pada bulan Jawa Suro dilakukan ritual memandikan keris oleh seorang ahli khusus.
Perjudian Keris
Pada masa sekarang, keris Nagasasra dan Sabuk Inten menjadi buruan para pencari benda pusaka untuk diperjual belikan dengan harga yang sangat tinggi hingga milyaran rupiah. Tapi selama ini belum pernah terdengar berita tentang terjadinya transaksi jual beli keris Nagasasra Sabuk Inten, kecuali hanya merupakan sebuah permainan orang-orang yang memanfaatkannya sebagai media taruhan atau perjudian, yang di kalangan masyarakat Jawa disebut "gembling", yang mana jika ada pihak yang mengundang untuk datang, baik pihak penjual atau pihak pembeli akan terkena denda 5 juta hingga sepuluh juta rupiah jika keris itu terbukti tidak lulus ketika di tes oleh seorang tester. Permainan benda pusaka ini bukan hanya terjadi pada keris Nagasasra dan Sabuk Inten saja, tetapi juga terhadap benda-benda pusaka lainnya dengan dalih akan dibeli oleh seorang kolektor asing dengan harga yang sangat tinggi.
________________________________________________________